Kejar Setoran Ibadah di Bulan Ramadan, Bolehkah?

Ramadan dan Limpahan pahala

Hikayat183 Dilihat

Mihrabnabawi.com – Bulan suci Ramadan merupakan bulan yang istimewa, bagaikan hamparan kebun dengan hasil yang berlimpah dan siap dituai. Sebanyak apapun yang kita mau kita akan mendapatkannya.

Begitulah Ramadan, limpahan ganjaran sudah disiapkan bagi umat Muslim dengan cara giat beribadah. Sehingga sangat wajar jika pada bulan ini adalah kesempatan emas untuk berlomba memperbanyak ibadah.Rasulullah bersabda seraya menyemangati para sahabat setiap menjelang tiba Ramadan selalu dengan menyampaikan:


أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ مُباَرَكٌ، شَهْرٌ فِـيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِياَمَهُ فَرِيْضَةً وَ قِياَمَ لَيْلِهِ تَطَـوُّعاً مَنْ تَقَرَّبَ فِـيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ اْلخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِـيْماَ سِوَاهُ وَمَنْ أَدَّى فِـيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِـيْمَا سِواَهُ وَهُوَ شَهْرُ الصَّـبْرِ وَالصَّـبْرُ ثَـوَابُهُ الْجَنَّةُ وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ وَ شَهْرٌ يَزْدَادُ فِـيْهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ، مَنْ فَطَّرَ فِـيْهِ صَائِماً كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوْبِهِ وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ وَ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقُصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ


Artinya, “Wahai manusia, telah tiba bulan yang agung lagi mulia. Bulan yang di dalamnya terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah telah menjadikan puasanya wajib dan shalat malamnya sebagai amal sunnah. Barangsiapa melakukan satu ibadah sunnah pada bulan ini, maka pahalanya seperti menunaikan satu kewajiban di bulan lainnya. Dan barangsiapa menunaikan satu ibadah wajib pada bulan ini, maka pahalanya seperti menunaikan tujuh puluh kewajiban di bulan lainnya. Ini adalah bulan kesabaran. Pahala kesabaran adalah surga. Juga bulan kepedulian, bulan saat rezeki orang mukmin ditambah. Barangsiapa memberi makanan berbuka untuk orang yang berpuasa pada bulan ini, maka dosa-dosanya akan diampuni, terbebas dari api neraka, dan memperoleh pahala seperti pahala orang yang ia beri makanan tadi tanpa mengurangi pahala orang itu sedikitpun.” (HR Ibnu Khuzaimah).


Dalam sabdanya Baginda berpesan kepada umat muslim bulan Ramadan yang memiliki limpahan ibadah sunah dan ganjaran tak terhingga bisa dijalankan dengan sebaik mungkin.

Perpindahan dari Sya’ban ke Ramadan bukan sebatas pergantian bulan tanpa makna, tetapi merupakan peralihan dimensi spiritual yang memerlukan kesiapan iman secara matang.

 

Anjuran Istiqomah Beribadah di Bulan Ramadan

Istiqomah lebih utama dari seribu karomah begitulah kedudukan yang sangat tinggi dari istiqomah. Begitu pula menjalankan ibadah haruslah dikerjakan dengan istiqomah. Karena ibadah yang baik bukanlah amalan yang semangat dilakukan di awal tapi semakin lama semakin luntur spirit dan kualitasnya.

Demikian halnya ibadah di bulan ramadan ini, sering kita jumpaipada awal bulan tampak semangat beribadah, tapi memasuki separuh bulan terakhir mulai redup. Padahal, kata Nabi, ibadah yang baik adalah ibadah yang dilakukan dengan konsisten, kendati tidak terlalu besar bentuknya.


أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ.
Artinya, “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling konsisten meskipun sedikit.” (HR Bukhari)

Dikisahkan ada sekelompok sahabat bertekad melakukan ibadah terlalu ekstra, padahal mereka belum tentu mampu menjalankannya. Hal ini kemudian mendapat teguran tegas dari Rasulullah. Kisah ini disampaikan dalam hadits diwayat Imam Bukhari.

Tiga orang sahabat penasaran dengan bagaimana ibadah Rasul, ketiganya akhirnya mendatangi istri-istri Rasulullah dan menanyakan prihal tersebut.

Rasulullah tidak mengetahui kunjungan ketiganya menghadap istri-istri baginda. Setelah mereka mendengar dan mendapatkan penjelasan apa dan bagaimana ibadah Nabi mereka terheran.

Dalam penjelesan yang mereka terima ternyata ibadah Nabi tidak sesuai dengan ekspektasi yang mereka bayangkan. Dibenak mereka, sebagai Nabi yang tentu memiliki tingkat spiritualitas tinggi, ibadahnya pasti luar biasa. Tapi realitasnya tidak demikian.

Mereka menyimpulkan, “Wajar Nabi ibadahnya sedikit begitu, ia kan sudah dijamin mendapat ampunan dari Allah. Kalau kita? Ya tetap harus berlomba dalam beribadah. Siapa yang ibadahnya paling hebat, dia lah yang pahalanya terbanyak.”

Setelah itu pun mereka bertekad untuk beribadah dengan lebih melangit lagi. Ada yang berikrar akan melaksanakan shalat malam selamanya. Ada pula yang menetapkan hati untuk berpuasa setiap hari. Bahkan, ada juga yang mantap menyatakan untuk tak ingin menikah seumur hidup demi fokus beribadah.

Ternyata tekad ‘konyol’ mereka ini sampai ke telinga Rasulullah. Segeralah Rasulullah menemui mereka.

“Apa betul kalian yang berkata demikian?” Nabi mengawali. “Demi Allah, aku adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Tapi tidak selamanya juga aku shalat malam, tidak setiap hari pula aku berpuasa, dan aku juga tetap menikahi wanita!” Lanjut Nabi. “Siapa yang tidak menyukai sunnahku, ia bukanlah dari bagianku!” Baginda menegaskan.

Berkaitan hadits di atas, Ibnu Hajar menjelaskan, ibadah yang dilakukan dengan terlalu berambisi, justru bisa menyebabkan rasa bosan. Kalau sudah bosan, semangat ibadah turun. Lain lagi jika ibadah dilakukan dengan sewajarnya (tidak malas-malasan, juga tidak berlebihan), hasilnya adalah ibadah dikerjakan dengan konsisten. (Ibnu Hajar, Fatḫul Bârî, juz IX, h. 7)

Kita dapat memetik hikmah dari cerita di atas, bahwa dalam beribadah juga perlu mempertimbangkan kemampuan diri masing-masing. Sebab, jika beribadah secara berlebihan justru akan kontra produktif. Dalam konteks Ramadan, sudah sepatutnya kita beribadah secara proporsional dan melaksanakannya dengan Istiqomah.